Kamis, 07 Januari 2010

LSP TELEMATIKA,,,

Program sertifikasi lebih bersifat aplikatif yang tidak diperoleh di bangku kuliah. Pada tingkat individu di Indonesia, saat ini mulai muncul kesadaran akan pengembangan kompetensi. Hal ini terbukti mulai banyak lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pelatihan sertifikasi pengadaan dan accredited competency professional. Padahal biaya pelatihan per program relatif tinggi, lebih dari Rp 10 juta.

Hal ini disebabkan sebuah kesadaran bahwa dalam meningkatkan daya saing individu diperlukan peningkatan kompetensi. Tidak bisa hanya berharap pada pendidikan formal yang didapat di perguruan tinggi. Sebab, pendidikan formal tidak selalu mampu menyediakan sumber daya manusia dengan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja. Artinya, banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak siap pakai.

Sementara dalam perkembangan ke depan, tak semua orang boleh menyematkan profesi tertentu pada dirinya karena tuntutan pertanggungjawaban profesi cenderung makin tinggi seperti halnya profesi akuntan, advokat, notaris, dokter, atau apoteker yang sampai dilindungi undang-undang (UU).

Sebagaimana diungkapkan CEO dan Chairman Institute for Global Futures James Canton, era ketersediaan tenaga kerja yang berlimpah telah usai. Kelangkaan karyawan berkualitas saat meningkatnya proses globalisasi dan ketatnya kompetensi menjadi isu utama. "Tetapi, saat ini masih sedikit sekali organisasi (perusahaan) yang mempersiapkan diri sebaik mungkin demi masa depan," tulis Canton dalam bukunya The Extreme Future: 10 Tren Utama yang Membentuk Ulang Dunia 20 Tahun ke Depan.

Ditegaskan Canton, skenario masa depan yang terpusat pada talenta didasarkan pada suatu organisasi yang berusaha membangun bisnisnya di sekitar sumber talenta global yang mampu melayani pasar spesifik. Pola ini yang kini banyak digunakan sejumlah perusahaan besar di dunia. Karena talenta amat langka, setiap perusahaanpun dituntut membangun ketahanan bisnis berdasarkan talenta-talenta spesifik yang dapat mengembangkan dan mengelola berbagai peluang yang ada.

Menurut Managing Director Multi Talenta Indonesia Irwan Rei, standardisasi profesi saat ini tidak hanya menjadi kebutuhan fungsi sumber daya manusia (SDM), tetapi juga fungsi-fungsi lain. Apa pun bentuknya, misalnya standardisasi ISO, tujuan dasarnya sama, yaitu untuk memastikan bahwa kualitas, fitur, dan spesifikasi yang dihasilkan melalui proses standardisasi ini memenuhi tingkatan kualitas tertentu.

Di jelaskan Irwan, fungsi SDM memerlukan standardisasi profesi untuk memastikan bahwa kualitas (kompetensi) dari para profesional yang memilikinya telah memenuhi suatu tingkatan tertentu. Dengan definisi dan pengertian yang beragam mengenai SDM, termasuk akibatnya, yaitu sistem dan program SDM yang dihasilkan, wajar saja bila diperlukan suatu landasan atau referensi tertentu untuk memastikan perlunya berbicara mengenai hal yang sama maupun adanya kompetensi dengan tingkatan kualitas minimum tertentu yang dimiliki.

"Satu yang perlu diawasi adalah, tinggi atau rendahnya kualitas yang terstandardisasi tentu sangat dipengaruhi kualitas alat ukur atau standardisasi yang digunakan."

"Kalau alat ukurnya berkualitas rendah, tentu hasil standardisasinya juga berkualitas rendah, demikian juga sebaliknya," ujar Irwan kepada SINDO. Setidaknya, kata Irwan, standardisasi dapat memperlihatkan kesenjangan kualitas yang ada sehingga perbaikan dapat dilakukan. Dia menganalogikan sebuah organisasi (perusahaan) yang kerap memerlukan suatu jabatan tertentu diisi pelamar berijazah S-1. Itu bukan berarti yang tidak berijazah S-1 tidak dapat melakukan pekerjaan berkualitas. Untuk satu hal ini, Irwan merujuk pada keberhasilan Bill Gates yang tidak memiliki "sertifikasi" pendidikan formal, tetapi memiliki kualitas yang bahkan ikut mempengaruhi standar kualitas profesi industri teknologi informasi (TI). Industri tentu tetap memerlukan "validasi" dari dunia pendidikan seperti Harvard atas kualitas seseorang. Namun, lulusan Harvard tidak selalu lebih berkualitas dari orang yang tidak memiliki sertifikasi dari Harvard seperti Gates. Malah, Gates akhirnya mendapatkan "validasi" dalam bentuk doktor kehormatan dari Harvard 30 tahun setelah drop-out dan mendirikan Microsoft.

Meski demikian, dengan adanya "sertifikasi" formal tertentu (ijazah S-1), setidaknya ada acuan, keyakinan maupun jaminan bahwa si pemegang ijazah memiliki kualitas yang telah memenuhi standar minimum tertentu.

Dengan memiliki standardisasi profesi, seseorang dapat menduduki jabatan tertentu. Di industri keuangan, misalnya, ada standardisasi profesi untuk menjadi pedagang saham atau sertifikasi manajemen risiko untuk menduduki jabatan-jabatan puncak di bank. Di dunia TI, ada sertifikasi dari Microsoft maupun Cisco yang menjadi syarat di beberapa perusahaan untuk dapat menduduki posisi-posisi tertentu di bidang TI. Dari sisi tenaga profesional, memiliki sertifikasi bisa membantunya mendapatkan pekerjaan yang diharapkan, sementara dari sisi perusahaan, standardisasi profesi membantu meyakinkan dan memvalidasi kualitas dari profesional yang bekerja.

Meski begitu, sertifikasi standar profess bukanlah lisensi seumur hidup, tetapi terus mendapat pengawasan ketat dari institusi pemberi sertifikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar